Tuesday, September 9, 2014

DI MINANGKABAU - (1) SEBUAH NEGERI PARA ULAMA

Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.


Telah diketahui umum bahawa ayah mertua penulis berasal dari Aceh. Yang kurang diketahui ialah ibu mertuaku berasal dari Miangkabau. Lebih jelas dari Canduang, tempat berasalnya ramai ulamat di Sumatera. Di bawah ini ialah karawan Nina Chairani yang diturunkan untuk memperkenalkan 'Sebuah Negeri Para Ulama.'


SEBUAH NEGERI PARA ULAMA

Oleh: Nina Chairani
Harian Republika, Kolom Jelajah, Edisi Ahad, 20 Juli 2014, halaman 7.

Kawasan Canduang dan Koto Merapak tempat lahirnya para ulama sejak era Paderi. Mereka berkembang dari jaringan surau antardaerah.

Seorang kawan berkomentar sebelum keberangkatan saya ke Koto Merapak, Sumatra Barat. “Kamu sedang ke tempat para ulama tuh, kawasan itu basis gerakan Islam sejak dulu,” katanya seraya mendengarkan rencana perjalanan saya.

Sebuah informasi menarik, selain keindahan alam dan budaya yang ingin kami gali dan telusuri. Adalah teman sekampus saya yang mengajak dan memperkenalkan saya ke kawasan ini. Daerah yang sehari-harinya bertatap wajah dengan keindahan Gunung Marapi.


“Ini rumah gadang keluarga Zakiah Daradjat,” kata Arina Suhirman, kawan saya itu, menunjukkan sebuah rumah gadang kayu berwarna cokelat. Tampaknya rumah keluarga ulama wanita yang belum lama ini tutup usia tersebut tidak dihuni. Selain Zakiah, ada juga da’i Mawardi Labay El Sulthany di antaranya.

Yulizal Yunus, dosen IAIN Imam Bonjol, Padang, seorang kenalan kami menepis keraguan kami. “Canduang dan Koto Merapak itu basis penyebaran Islam di Sumatra Barat,” kata dia.

Sejak Paderi

Wilayah Canduang, Koto Merapak, dan sekitarnya, jelas Yulizal, sejak dulu sudah menjadi tempat lahirnya para ulama. Di antara para tokoh Paderi, para pelanjut Haji Miskin yang menyebar pemurnian Islam, ajaran dari Makkah, lahir dari daerah ini.

Lelaki yang banyak menulis buku tentang Islam dikaitkan dengan sejarah Minangkabau lantaran menggambarkan mata rantai perkembangan Islam di kawasan ini. Ia memulainya dari Syekh Muhammad Cangkiang memiliki putera Syekh Jamaluddin. Syekh Cangkiang berguru pada Syekh Ibrahim di Bonjol, sebuah daerah di Pasaman.

Putra Syekh Cangkiang, penyebar tarekat, Taher Jalaluddin Al Falaki menjadi terkenal di Malaysia. Ia mendirikan pusat kajian ilmu falak.

Surau-surau di Canduang dan Koto Merapak, jelas Yulizal, ada hubungannya dengan surau di Halaban, Payakumbuh. Pasalnya, para ulamanya banyak jebolan Halaban. Surau Limbukan Payakumbuh digerakkan oleh para ulama jebolan Surau Kumbu di Payakumbuh, Padang Kandih memiliki ulama dari hasil godokan Kumpulan Pasaman, Syekh Cangkiang di Canduang. “Ini jalur penyebaran Islam di Luhak Agam,” jelas Yulizal, “Jaringan surau amat berarti dalam pengembangan Islam.”

Antara surau satu dan surau lain berkaitan sejak abad ke-18. Jalur itu ada yang langsung dari Makkah seperti Syekh Cangkiang dan ada yang kelanjutan dari mereka.

Dari surau ke surau

Tidak afdhal ke Canduang dan Koto Merapak, bahkan Sumatra Barat secara keseluruhan tanpa menengok mesjid dan suraunya. Kami berkunjung ke beberapa masjid dan surau. Seperti di beberapa daerah lain, masjid-masjid kuno memiliki atap tumpang 3 hingga 5. Atap teratasnya berbentuk limas. Ini hasil pengaruh bangunan agama Hindu. (lihat Masjid Canduang dan Masjid Lamo).

Ukir-ukiran khas Minang yang mengandalkan keindahan alam tetumbuhan juga terlihat. Sayangnya, dalam perjalanan ke beberapa tempat atap ijuk pada masjid lama kini berganti genting berwarna-warni.

Surau, menurut Yulizal, pada dasarnya terdiri atas surau ulama dan surau ninik mamak yang berbasis suku, tempat para paman mengajar adat dan perilaku bagi kemenakan-kemenakannya. Namun, dalam waktu singkat, sulit bagi saya mencermati surau-surau itu kecuali bentuk fisiknya.

Sebagian juga, mungkin karena fungsi surau kini mulai bergeser. Bila dulu menjadi basis gerakan sosial. Yakni, di mana surau menyuplai ilmu pengetahuan dan pengembangan kemampuan masyarakat, kini fungsi itu dilakukan oleh lembaga pendidikan modern.

“Jaringan surau kini tidak sekental dulu,” kata Yulizal. Ia lantas menjelaskan betapa di era otonomi kini ada impian di Sumatra Barat menuju ke nagari berbasis surau. Mengembangkan surau berdaya seperti dulu.

ROBOHNYA SURAU KAMI

Judul buku karya AA NAvis langsung tergiang di telinga saya ketika Arina Suhirman, teman saya di Koto Merapak mengajak saya ke sana: Robohnya Surau Kami.

Masjid itu lumayan besar, atapnya meruncing ke atas, khas surau dan masjid Sumatra Barat. Ukir-ukiran indahnya sudah memudar, kayu-kayunya mulai melapuk, kolamnya sudah kering, tanaman liar tumbuh di sana-sini.

Keindahan masjid itu masih tampak. Bahkan, menaranya telah berdiri miring, meski lantai kayunya sebagian jebol, pilar-pilar masjid berwarna hijau berukir tak menyembunyikan keindahannya.

Tak ada penjelasan kapan masjid ini didirikan. Di papan atap masjid, terdapat tulisan arab gundul dan angka 1319 H. namun, orang-orang tua di Koto Marapak tak sepakat pada satu kesamaan tahun kelahiran masjid ini.

Yang jelas, masjid ini didirikan di atas tanah wakaf keluarga suku Simabua Kayu. “Tiga keluarga dari suku Simabua Kayu dengan datuk yang menjabat saat itu Datuk Marajo, memutuskan memberikan tanah bersama keluarga,” kata Amami (70 tahun).

Cerita berdirinya masjid itu ia dapatkan dari pamannya pada saat ia masih kecil. Masjid lamo, begitu sebutannya sekarang, pernah menjadi kebanggaan orang kampung Koto Marapak dulu.

Masjid itu mempunyai satu menara megah untuk mengumandangkan azan, satu kubah yang saat itu terlihat megah. Bangunan tembok kokoh yang mirip dengan bangunan tembok keraton di Jawa memagari halaman dalam masjid, membuat bentuk kolam yang melingkari masjid di bawah bangunan. Kolam yang dulu pernah mengalir air jernih dan menjadi tempat bersuci.

Hilma yang lahir pada 1933, mengingat sewaktu kecil ia bahkan sering datang ke masjid bukan hanya waktu shalat tarawih di bulan Ramadhan. Ia kerap datang hanya untuk berdendang menyanyikan lagu-lagu pujian. “Dulu tidak ada hiburan lain, tidak seperti sekarang yang banyak acara TV-nya,” kenang dia. Dan, di masjid itu pula pada tahun 1954 ia dinikahi suaminya.

Kejayaan Masjid Lamo memudar sejak tanah yang berjarak Cuma sekitar 50 meter diwakafkan oleh pemiliknya untuk didirikan masjid baru pada 1965.

H Sofyan, pengurus masjid baru sejak tahun 1965, juga berasumsi bahwa masjid baru dibangun karena dirasakan bahwa masjid lama lebih buruk dan kuno.

Sofyan yang dikenal dengan sebutan Haji Piat bercerita bahwa sekitar 1980-an pernah ada pembicaraan antarpemuka kampung untuk membongkar Masjid Lamo dan menggantikannya dengan bangunan madrsah. Usaha tersebut gagal karena tidak mandapat persetujuan dari keturunan keluarga pewakaf tanah.

“Mereka berpendapat, tanah tersebut diwakafkan oleh neneknya untuk dimanfaatkan sebagai masjid, bukan yang lain,” kata Haji Piat. Alhasil, hingga kini masjid lamo menjadi kian usang dimakan waktu menunggu roboh.

BERTEMU INYIAK 100 JANJANG
Ibrahim Mufid (14 tahun) membaca tulisan Arab itu dengan lancar. Ia sedang membaca kitab kuning. Huruf-huruf yang dibacanya tanpa tanda baca, Arab gundul, begitu sebutannya. Sang guru memperhatikannya dengan seksama sambil duduk di kursi kecil. Sesekali ia mengoreksi bacaan murid kelas 3 madrasah itu.

Ibrahim dan kawan-kawan duduk di tikar dalam lingkaran; Ayah, julukan sang guru, duduk di tengah. Sudah sejak 1980, Buya Muslim Kari Bagindo (70) mengajar di rumah. Sebelumnya ia khusus mengajar mengaji di rumah. Di samping itu ia juga mengajar di Miftahul Ulum Syari’ah (MUS) Canduang, almamaternya.

Sejak mulai sering sakit, murid-murid yang ingin memperdalam pelajaran di sekolah tentang kitab kuning datang ke rumahnya. Maklumlah, tak semua pelajaran tuntas dipahami di sekolah. “Kadang-kadang guru mereka pun titip pertanyaan,” ungkapnya.

Secara teratur anak-anak itu datang tiap hari, kecuali malam Jum’at. Mereka belajar sejak Maghrib hingga pukul 21.30.

Ladang akhirat

Buya Muslim adalah guru kitab kuning tertua di Nagari Canduang. Ia belajar pada Syekh Ahmad Thaher, ulama setempat, hingga mendapat ijazah MUS tamat pada 1960.

Lalu ia mengajar di sekolah yang didirikan gurunya pada tahun 1937 itu. Bukan dari mengajar itu Buya Muslim menyandarkan periuk nasinya. Sebab, dari kegiatan mengajar tipa malam itu, ia beroleh Rp 180 ribu untuk empat bulan. “Ini ladang akhirat, keuntungan lain tak ada,” kata dia.

Kepada saya, Iswandi, salah satu anaknya bercerita, ia ingat benar kegiatan saat ayahnya masih kuat mengajar di madrasah. Hingga malam hari, Buya Muslim tekun belajar, membaca-baca kitab kuning di rumah.

Saat kami berkunjung ke rumah Inyiak 100 Janjang, nama julukan lain bagi Buya Muslim karena tempat tinggalnya di Jorong 100 Janjang, banyak tumpukan kayu manis. Sebagian dijemur, sebagian lagi sudah dalam ikatan-ikatan bertumpuk di dalam rumah. Hasil kebun kayu manis, cokelat adalah sumber penghasilan Buya Mslim dan isterinya, Dasmaniar. “Pagi hari menjemur katu manis,” ia menceritakan kegiatannya di rumah.

Sebagian besar waktu ayah tujuh anak ini berkutat di seputar agama. Ia aktif di Masjid Jamiatul Amaliyah, Jorong 100 Janjang. Ia juga pengurus Majelis Taklim Syauqina.

Meskipun tak bisa ditakar dengan uang, Buya Muslim merasa banyak menangguk kebahagiaan. Terutama bila murid-muridnya mengangkat nama Canduang menjuarai lomba pembacaan kitab kuning dan membaca Alquran. “Sejuk rasanya,” kata dia.

Ia mengakui, hidup tentu ada hal-hal yang tak menyenangkan. Tapi, ia enggan memberi ruang dalam hatinya untuk itu. “Karena, niat saya mempelajari ilmu dan ajarkanlah,” ujarnya.


Karena banyaknya ilmu agama yang dipelajari dan diajarkannya, tak heran bila Buya Muslim jadi tempat bertanya warga. Salah satunya menjadi tempat minta nama bagi anak yang baru lahir. “Itu karena bacaan ayah yang banyak,” cerita Iswandi.

No comments:

Post a Comment