Friday, August 12, 2016

JENAYAH WARGA NIGERIA DI NUSANTARA

PERTEMUAN DENGAN DIPLOMAT NIGERIA
DI MEKKAH

1. Di dalam masukan blog pada kali ini saya turunkan beberapa laporan akhbar mengenai jenayah yang dilakukan di Nusantara, khususnya di Indonesia dan Malaysia, oleh warganegara Nigeria.

2. Saya teringat untuk mengenengahkan bahan bacaan ini kerana dua peritiwa yang tiba-tiba muncul dalam ingatan saya setelah membaca isi media berkenaan.

3. Pertama ialah pertemuan saya dengan duta Nigeria ke Afrika Selatan di restoran Safwah di Mekkah dalam bulan puasa sehari setelah berita meninggalnya Nelson Mandela. Duta, yang namanya saya sudah lupa, menyatakan bahawa beliau ialah seorang sahabat Nelson Mandela dan peminat serta penyokong kuat Tun Dr. Mahathir yang katanya beliau kenal rapat.

4. Kerana Tun Dr. Mahathirlah maka duta Nigeria ini telah membuat keputusan untuk menghantar anak perempuannya belajar di salah sebuah universiti di Malaysia.

5. Katanya, sebaik saja anak beliau sampai di KLIA anaknya itu telah disambut oleh staf kedutaan Nigeria yang membawanya ke kedutaan. Waktu berceloteh dengan staf kedutaan anak duta Nigeria ke Afrika Selatan ini telah mendapat tahu bahawa ramai penjenayan terkenal dari Nigeria kini berada di Kuala Lumpur.


6. Pada malam itu, apabila anak perempuan duta Nigeria ke Africa Selatan dihubungi dengan telafon oleh bapanya dari Durham si anak memberitahu mengenai kewujudan ramai penjenayah terkenal dari Nigeria di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur. Mendengar berita ini bapa pelajar meminta anaaknya segera pulang ke Afrika Selatan pada besok harinya, dan terbatallah rancangan untuk belajar di Malaysia.

RESTORAN DI PLAZA MONT' KIARA 1

7. Sekembali dari Mekkah perhatian saya tertumpu kepada pendatang berkulit hitam yang ramai di Malaysia masa kini.

8. Plaza Mont' Kiara 1 menggajikan ramai pegawai keselaamatan yang berasal dari Nepal. Waktu saya berada di restoran Secret Recipe pada satu hari saya berkesempatan bertemu dengan Mukti ketua sekuriti Plaza Mon't Kiara 1 yang juga berasal dari Nepal.  

9. Apabila saya Tanya mengenai pendatang kulit hitam yang kelihatan berkeliaran di sekitar kawasan Mont' Kiara Mukti mengesahkan mereka berasal dari Nigeria. Mukti menyambung khabar bahawa di sebuah restoan besar bersebelahan Secret Recipe itu pada dua malam dalam seminggu, mulai pukul 3 hingga 6 pagi, selama 3 jam sekurang-kurangnya 100 hingga 200 orang warganegara Nigeria akan berkunjung ke restoran itu untuk minum arak, menari, menyanyi bercampur mesra lelaki dan perempuan dalam suasana yang cukup bising.
 
10. Restoan yang kelihatan sentiasa sepi ini rupa-rupanya boleh bertahan membayar sewa yang tinggi begitu lama kerana dukungan pelanggan yang ramai dari Nigeria.
 
11. Kina Mukti sudah pulang ke Nepal setelah berlakunya gempa bumi di sana beberapa waktu yang lalu; dan restoran ini juga juga sudah ditutup dan ruangnya di renovasi untuk projek lain. Mungkin juga kerana pelanggan dari Nigeria tidak berkunjung ke sana lagi.

12. Umum mengetahui ada pendatang dari Iran yang pernah menggunakan kondominium mahal di Mont' Kiara sebagai tempat memproses dadah; apakah pula pekerjaan pendatang dari Nigeria yang ramai dan hidup dalam keadaan mewah di Malaysia. Saya tidak menyelidikinya.

13. Di bawah ini ialah beberapa petikan baru dari surat-khabar di Indonesia dan Malaysia mengenai hukuman ke atas penjenayah yang memadai ramainya dari Nigeria.

14. Selamat membaca.

PERDEBATAN MENGENAI HUKUMAN MATI
DALAM MEDIA INDONESIA
 
PENEGAKAN HUKUM

EKSEKUSI MATI DAN PERADILAN SESAT

Penundaan eksekusi terhadap terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso sempat memberikan harapan bahwa pemerintah akan berpikir keras sebelum kembali melakukan eksekusi mati. Namun, harapan itu ternyata salah. Bahkan, proses eksekusi tengah malam tadi cenderung lebih tertutup.

Selasa malam, 28 April 2015, Mary Jane yang sudah mengenakan gaun putih batal dibawa ke lokasi eksekusi. Jaksa Agung HM Prasetyo memerintahkan penangguhan eksekusi terhadap perempuan yang ditangkap di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 2010 atas kepemilikan 2,6 kilogram heroin tersebut. Alasannya, pemerintah menghargai proses hukum yang sedang berjalan di Filipina terkait kasus perdagangan manusia yang menimpa Mary Jane.

Sebelum penundaan eksekusi itu dilakukan, para penggiat gerakan masyarakat sipil telah menyuarakan sejumlah cacat dalam proses peradilan terhadap Mary Jane. Banyak fakta yang tidak terungkap di persidangan karena kendala bahasa. Mary Jane hanya dapat berbahasa Tagalog, tetapi dalam pemeriksaan dan persidangan tidak ada penasihat hukum ataupun penerjemah yang kompeten untuk mendampinginya. 

Tanpa memperoleh bantuan hukum yang optimal, Mary Jane akhirnya divonis mati oleh Pengadilan Negeri Sleman. Upaya banding dan kasasi yang dilakukannya tak mengubah vonis tersebut.

Kasus perdagangan manusia yang diduga melibatkan Mary Jane baru muncul setelah sejumlah lembaga swadaya masyarakat bergerak untuk menelusuri kronologi kasusnya.

Peradilan sesat

Peradilan sesat seperti yang diduga dialami Mary Jane juga berpotensi terjadi pada terpidana yang dieksekusi tengah malam tadi. Dari 14 terpidana mati perkara narkoba yang dijadwalkan dieksekusi, antara lain terdapat nama Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan, yang proses hukumnya masih menyisakan tanda tanya.

Zulfiqar divonis mati pada 2005 oleh Pengadilan Negeri Tangerang atas kepemilikan 300 gram heroin. Pada tahun yang sama, Pengadilan Tinggi Banten dan Mahkamah Agung menguatkan putusan itu melalui upaya banding dan kasasi.

"Zulfiqar disebut tidak terlibat atas kepemilikan yang dituduhkan. Itu dari saksi kunci yaitu Gurdiph Singh," kata peneliti Imparsial, Ardi Manto. Gurdiph Singh yang juga menjadi salah satu dari 14 nama yang dieksekusi menyebutkan bahwa barang bukti dalam kasus yang menimpa Zulfiqar adalah miliknya.

Amnesty Internasional juga mencatat, Zulfiqar Ali tidak mendapat bantuan hukum yang memadai sejak dirinya ditangkap. Zulfiqar diduga juga mengalami kekerasan sehingga ia menandatangani pengakuan bahwa dirinya bertanggung jawab atas kepemilikan heroin seberat 300 gram.

Selain Zulfiqar, Amnesty Internasional juga mencatat terpidana mati lain yang masuk dalam daftar eksekusi, yang diduga mengalami proses peradilan cacat. Mereka misalnya Raheem Agbaje Salami yang tidak mendapat penerjemah bahkan penasihat hukum yang baik karena tidak memiliki kemampuan finansial memadai.

Merri Utami juga disebut sebagai korban perdagangan manusia seperti yang dialami Mary Jane. Ketua Komnas Perempuan Azriana berpendapat, kasus yang menimpa Merri Utami perlu dikaji karena jaringan perdagangan internasional narkoba menyasar dan memanfaatkan kerentanan perempuan, terutama pekerja migran. "Mereka adalah para perempuan pekerja migran yang sedang memperjuangkan kesukaran hidup dan keluarganya untuk keluar dari kemiskinan dan menghindari kekerasan dalam rumah tangga ang dialaminya," ujar Azriana.

Ia menambahkan, berbagai modus kerap digunakan jaringan tersebut, yang berujung pada penipuan untuk dijadikan kurir. Ironisnya, perempuan pekerja migran yang dijebak menjadi kurir dan berakhir menjadi korban perdagangan orang ini tidak diketahui para penegak hukum. 

Korupsi

Peradilan sesat yang diduga dialami oleh sejumlah terpidana mati makin menambah daftar persoalan terhadap lembaga peradilan di Tanah Air. 

Dugaan adanya peradilan sesat itu ditengarai ada kaitan dengan praktik korupsi. Penangkapan sejumlah panitera, hakim, dan aparat Mahkamah Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu terakhir mengindikasikan adanya praktik korupsi di sistem peradilan Indonesia.

World Justice Project Rule of Law Index tahun 2014 dan 2015 mengindikasikan persepsi masyarakat terhadap pembenahan korupsi di tubuh institusi peradilan semakin buruk. jika pada 2014 nilai persepsi korupsi lembaga yudikatif mencapai 0,28, pada tahun 2015 nilai itu turun menjadi 0,22. Dari nilai 0 hingga 1 semakin mendekati angka 0, semakin buruk persepsinya, sedangkan semakin mendekati angka 1, semakin baik persepsi masyarakat.

Munculnya sejumlah kasus korupsi di lembaga peradilan tersebut membuat Gary Goodpaster dalam buku Law Reform in Developing and Transitional States (2007) menulis, "Sistem hukum di Indonesia tidak bisa dipercaya - sungguh, tidak bisa digunakan untuk dapat memberikan keputusan jujur - tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korup". 

Kondisi hukum yang dipenuhi sejumlah praktik korupsi dan kesemrawutan ini apakah tak menimbulkan tanya terkait vonis mati yang dijatuhkan kepada sejumlah terpidana perkara narkoba? Kemudian, dengan kondisi praktik peradilan seperti itu, apakah publik harus serta-merta menerima dengan mudah alasan pemerintah melakukan eksekusi mati, yaitu melakukan hukuman positif?

Dalam kondisi seperti itu hanya ada satu kepastian, yaitu nyawa yang sudah dicabut dalam eksekusi mati tak dapat dikembalikan ketika di kemudian hari ternyata ada proses yang salah atau cacat terhadap terpidana mati yang telah dieksekusikan tersebut. (RIANA A IBRAHIM) 
 
PENEGAKAN HUKUM 
 
Eksekusi Mati Tak Kurangi Penyalahgunaan Narkoba
 
JAKARTA, KOMPAS, 29 Juli 2016 - Meski tahun lalu pemerintah telah mengeksekusi terhadap 14 terpidana mati perkara narkoba, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba tidak berkurang. 
 
Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, pada 2015 ada 40,253 kasus narkoba, Angka itu merupakan yang tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 
 
Selain itu jumlah pengguna narkoba pun ditengarai meningkat. Saat peringatan Hari Anti Narkotika Internasional 2016, pada Juni lalu, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jendral Budi Waseso mengungkapkan, hingga November 2015, jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta jiwa. Angka itu meningkat dari sekitar 4,2 juta jiwa pada Juni 2015 (Kompas, 22/7).
 
Terkait itu, peneliti Imparsial, Ardi Manto, mengkritik langkah pemerintah yang kembali mengeksekusi terpidana mati narkoba. "Hukuman mati dilakukan untuk menutupi kelemahan pemerintah dalam menanggulangi peredaran narkoba saja", kata Ardi, Kamis (28/7) di Jakarta. 
 
Lewat Kamis tengah malam, pemerintah kembali mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya mengatakan, eksekusi yang dilakukan untuk ketiga kali di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Juyuf Kalla ini dilaksanakan terhadap 14 terpidana mati perkara narkoba.
 
Para terpidana mati itu adalah Ozias Sibanda (Zimbabwe), Obinna Nwajagu, Okonkwo Nwongso, Fredderikk Luttar, Seck Osmane, Humprey Ejike, Eugene Ape, dan Michael Titus Igweh (semua dari Nigeria), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdiph Singh (India), Merri Utami, Freddy Budiman, Agus Hadi, dan Pudjo Lestari (Indonesia).
 
Ada kemungkinan jumlah terpidana yang dieksekusi dikurangi karena ada terpidana yang upaya hukumnya belum selesai. Merri Utami belum mengajukan grasi, Zulfiqar Ali belum mengajukan peninjauan kembali (PK) dan grasi, sementara Pudjo Lestari masih menunggu putusan PK kedua dari Mahkamah Agung. Hingga berita ini diturunkan pukul 23:45, belum ada kepastian.
 
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yohana H Laoly mengatakan ada terpidana mati yang proses PK-nya belum slesai. Namun, hal itu tak menghalangi eksekusi. Presetyo menyatakan telah mempertimbangkan berbagai aspek dalam penentuan pelaksanaan eksekusi mati.
 
PERSIAPAN
 
Hingga Kamis pukul 22.30, persiapan eksekusi mati terus dilakukan. Sejumlah mobil yang ditengarai Kejaksaan Agung memasuki Nusakambangan melalui Dermaga Wijayapura. Sebanyak 17 ambulans, 14 unit di antaranya membawa peti mati, ke Nusakambangan sejak Kamis pagi.
 
Hingga menjelang eksekusi keluarga terpidana mati terus menyampaikan protes. Kakak ipar Michael Titus, Nila, keberatan dengan putusan hukuman mati karena Titus masih mengajukan PK kedua. Koalisi Perempuan Indonesia Cilacap berunjuk rasa menolak eksekusi Merri Utami. Penolakan juga disampaikan Komnas Perempuan. (IAN/WIE/APA/NDY/C08)
 
MINTA DOA ANAK YATIM SEBELUM DIEKSEKUSI

Media Indonesia - Jum'at, 29 Juli 2016.

ROMBONGAN anak yatim yang menumpang mobil bak terbuka tiba di tempat penyeberangan khusus menuju Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kemarin, sekitar pukul 11.00 WIB.

Kedatangan anak-anak yatim yang mengenakan busana muslim itu sontak menarik perhatian awak media yang meliput persiapan eksekusi hukuman mati.

Saat ditemui wartawan, sopir mobil bak terbuka itu mengatakan 12 anak yatim tersebut merupakan santri Pondok Pesantren Yatim Piatu Al Muchtar di Desa Penggalang, Kecamat-an Adipala, Cilacap.
Menurut dia, mereka diundang Abina Nwajaen alias Obina Nwajagu bin Emeuwa untuk menggelar doa bersama sebagai permintaan terakhir menjelang eksekusi hukuman mati karena terpidana warga negara Nigeria itu menjadi salah seorang donatur Ponpes Al Muchtar asuhan KH Ahmad Tamam.
"Hanya pengajian biasa, baca Surat Yasin dan tahlil saja," kata dia.
Obina Nwajagu bin Emeuwa ialah satu dari 14 terpidana mati yang masuk daftar eksekusi mati tahap III pada Jumat dini hari.
Polisi menyiapkan 168 regu tembak untuk mengeksekusi 14 terpidana mati. Satu terpidana mati akan dieksekusi 20 juru tembak.
Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan hampir 300 polisi disiagakan untuk membantu proses eksekusi itu. Mereka terdiri atas regu tembak serta regu pengawalan dan peng-amanan.
"(Regu tembak) masing-masing satu orang (terpidana) ada 10-12 personel dengan 14 (terpidana). Jadi tinggal 12x14 yang ikut dalam regu tembak," kata Martinus di Jakarta, kemarin.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan eksekusi dan hukuman mati yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap narapidana kasus kejahatan narkotika sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum internasional.
"Hukuman mati yang dilakukan ini adalah suatu penegakan hukum," kata Arrmanatha Nasir di Jakarta, kemarin.
Pernyataan tersebut dia sampaikan untuk menanggapi desakan dari PBB dan Uni Eropa yang meminta pemerintah Indonesia memulai pelaksanaan moratorium hukuman mati dan eksekusi. (LD/AU/PS/Ant/X-6)
 
DARI MEDIA DI MALAYSIA

The Sun – August 2, 20016

Lagos - A Nigerian behind an online fraud network which engineered scams worth more than $60 million (R829 million) has been arrested in Port Harcourt in southern Nigeria, Interpol said yesterday.

"The 40-year-old Nigerian national, known as 'Mike', is believed to be behind scams totalling more than $60 million (R829 million) involving hundreds of victims worldwide," the international police organisation said in a statement.

"In one case, a target was conned into paying out $15.4 million (R213 million)," Interpol said, indicating that the arrest was carried out with the support of Nigeria's anti-graft agency the Economic and Financial Crimes Commission (EFCC).

"The network compromised email accounts of small to medium businesses around the world including in South Africa, Australia, Canada, India, Malaysia, Romania, Thailand and the United States," it said.

The suspect ran a network of at least 40 people working from South Africa, Nigeria, and Malaysia which used malware and carried out the fraud, and he also had money laundering contacts in China, Europe and the US who provided bank account details for the illicit cash flow.

The suspect and a fellow fraudster, 38, who was also arrested in the city, face charges including hacking, conspiracy and obtaining money under false pretences. - AFP

 

1 comment:

Anonymous said...

Persoalannya, siapa pengkhianat Negara yang tidak melakukan kerja mereka dengan tulus dan amanah sehingga criminals dari Nigeria banyak berleluasa di Malaysia? Siapa termakan suapan duit?