Tuesday, September 9, 2014

DI MINANGKABAU - (3) ISWANDI MENGHIDUPKAN LAGI SONGKET CANDUANG

ISWANDI MENGHIDUPKAN LAGI SONGKET CANDUANG

Oleh: Nina Chairani
Harian Republika, Kolom Jelajah, Edisi Ahad, 10 Agustus 2014, halaman 5.

Sentra songket minang tak Cuma dari Pandai Sikek, Nagari Canduang pun pernah memilikinya. Namun, siapa yang tahu?

Songket canduang tak pernah ada yang membicarakannya. Suatu hari Iswandi (38 tahun) mendengar ada orang yang menyebut soal songket canduang. Wujud songket itu masih misterius. Tak pernah ada kegiatan tenun-menenun di nagari dalam Kabupaten Agam, Sumatra Barat itu.


Lain waktu, Iswandi bertemu dengan orang yang mengaku memiliki songket canduang. Sebuah pakaian dengan bahan songket motif sederhana. Pemuda putra guru kitab kuning di Canduang itu terusik. Penulusuran pribadinya tentang songket canduang dimulai. Ia bahkan mendapatkan songket tua yang diperkirakan dibuat pada 188o-an dengan pewarnaan alami.

“Suatu hari saya bertemu dengan yang mengaku pernah melihat peralatan tenun tersimpan di rumah gadang di sebuah kampung,” cerita Iswandi di workshop-nya di kawasan Bingkudu, Canduang.

Kubang Turak, nama kampung itu. Iswandi pun mencari rumah yang dimaksud dan menemukan palanta, peralatan tenun, itu ngangkrak tersimpan. Ia semakin yakin untuk menarik kesimpulan bahwa Canduang pernah memiliki tenun songket sendiri berdasarkan nama kampung itu yang berarti alat tempat meletakkan benang untuk tenun (turak).

Songket canduang yang sirna

Lulusan seni rupa Universitas Negeri Padang akhirnya bisa menghubungkan puzzle teka-teki tentang songket canduang. Belum banyak sejarah yang tersibak. Namun, Iswandi telah menelusuri tenun songket canduang dulu dikembangkan oleh isteri Syekh Ahmah Thaher, pendiri Pondok Pesantren Miftahul Ulumi Syari’ah (MUS) pada 1937. Ia mengembangkannya pada perempuan-perempuan Canduang sehingga menjadi nagari itu memiliki sentra songket.

“Songket canduang itu khas, motif khasnya saik ajik (potongan wajik/jajaran genjang),; kata Iswandi dengan hati-hati membuka beberapa kain kuno koleksinya itu. Selain itu, tenunannya tak menggunakan benang emas dan menggunakan pewarnaan lumpur.

Sentra songket itu mati pada 1945. Dari penelitiannya, Iswandi melihat dua hal yang menjelaskan kematian produk budaya Canduang itu. Pertama, ia melilai persaingan para pembuat dan pemilik usaha pembuatan songket yang menyimpan rapat rahasia produksinya. Saat mereka tak lagi memiliki keturunan, rahasia produksi itu pun berakhir di tangan mereka.

Selanjutnya bisa dijelaskan lewat cerita masa susah pada era penjajahan Jepang. Di saat berbagai pelosok nusantara orang-orang bercerita pada masa itu mereka berpakaian goni, lain lagi orang Canduang. Mereka meilih untuk menggunting kain-kain bagus koleksi mereka; kain canduang pun menjadi pakaian sehari-hari. Alhasil, songket canduang punah.

Menghidupkan kembali

Iswandi bersama dengan Nanda Wirawan, isterinya - pernah bekerja bersama Bernhard Bart melakukan penelitian tentang songket – tergerak menghidupkan kembali songket-songket daerah yang beraneka ragam.
Kini sentra songket terkenal hanyalah Pandai Sikek. Alhasil, pembuat songket dari daerah-daerah lain pun membuat songket gaya pandai sikek. “Penenun Payakumbuh membuat songket pandai sikek untuk di Bukittinggi,” ungkap dia, “Padahal masing-masing daerah mempunyai songket khasnya sendiri.”

Sebenarnya sentra songket di Ranah Minang berpindah-pindah. Pada 1960-an sentra songket terkenal berada di Koto Gadang sementara Pandai Sikek merupakan daerah penghasil alat tenunnya. Akibat rumah gadang sentra pembuatan songketnya terbakar, nama Koto Gadang pun pudar dari percaturan papan atas “dunia persongketan”. Pandai Sikeklah yang hingga kini berjaya.

Selama hampir dua tahun ini, Iswandi dan isterinya berusaha mengembangkan songket daerah. Tak hanya motif songket canduang. Mtif beberapa daearah seperti Payakumbuh, Batusangkar, Muaro Labuah yang mulai jarang terlihat pun mereka simpan. Motif itu dibuat pola tenunannya dengan program Excell. Beberapa motif telah diproduksi dan pesanan pun mengalir. “Kami tidak memproduksi secara massal,” kata Iswandi mengung tentang tenaga penenunnya yang masih terbatas.

Penghargaan UNESCO

Di workshop-nya yang artistik dengan halaman yang ditanami tanaman hias dan sayuran, Iswandi tak hanya menghidupkan motif-motif songket lama. Ia membuat motif baru dari motif ukir-ukiran tradisional Minangkabau. “Kami memproduksi ulang dan juga memproduksi baru,” ia berusaha meringkaskan usahanya.

Selain itu, ia juga mengembangkan teknik tenun baru yang memungkinkan pembuatan tenun dengan motif bergaris lengkung. “Motif tenun songket kan biasanya patah-patah,” jelas ayah dari Mikshalmina Tulus Iswandi (5 tahun) itu.

Ia lantas mencontohkan sebuah selendang buatannya dengan motif flora berlengkung-lengkung. Motif saluak laka yang berasal dari ukiran itu ia buat dengan pewarnaan alami. Ia menggunakan warna teh-tehan, secang, untuk warna merah dan cokelat, memanfaatkan daun alpukat untuk beroleh hijau.

Selendang saluak laka motif baru itu disertakan dalam pameran tenun di Bangkok, Thailand, tahun lalu. “Selendang itu mendapat penghargaan handycraft dari UNESCO,” ungkapnya.

Dari motif-motif yang dikumpulkannya, Iswandi dan Nanda tak hanya memikirkan songket. Mereka pun ingin menghidupkan kembali kerajinan anyam tikar pandan mansero warga Canduang. Hanya saja, yang akan datang anyaman itu dengan motif-motif tradisional mereka. “Kami sekarang sedang mengkampanyekan untuk menanam kembali tanaman itu,” katanya.

Untuk mengembangkan kembali tradisi lama tak mungkin berjalan sendiri. Iswandi membutuhkan waktu enam bulan melatih penenun. Ia memiliki dua tempat: di Canduang dan di Payakumbuh. Sekitar dua ratus juta rupiah dana mengalir untuk seluruh proses dijalaninya, sebagian dari kocek pribadi. Ia memendam cita-cita. “Saya ingin ada sentra yang utuh di daerah-daerah,” ujarnya meringkas harapannya. 

1 comment:

Anonymous said...

Interesting. But how much nicer if there are pictures. Have always admired Malay songket and the Malay dress style.