ISWANDI MENGHIDUPKAN LAGI SONGKET CANDUANG
Oleh: Nina Chairani
Harian Republika, Kolom Jelajah,
Edisi Ahad, 10 Agustus 2014, halaman 5.
Sentra songket minang tak Cuma dari Pandai Sikek, Nagari Canduang pun
pernah memilikinya. Namun, siapa yang tahu?
Songket canduang tak
pernah ada yang membicarakannya. Suatu hari Iswandi (38 tahun) mendengar ada
orang yang menyebut soal songket canduang. Wujud songket itu masih misterius.
Tak pernah ada kegiatan tenun-menenun di nagari dalam Kabupaten Agam, Sumatra
Barat itu.
Lain waktu, Iswandi
bertemu dengan orang yang mengaku memiliki songket canduang. Sebuah pakaian
dengan bahan songket motif sederhana. Pemuda putra guru kitab kuning di
Canduang itu terusik. Penulusuran pribadinya tentang songket canduang dimulai.
Ia bahkan mendapatkan songket tua yang diperkirakan dibuat pada 188o-an dengan
pewarnaan alami.
“Suatu hari saya
bertemu dengan yang mengaku pernah melihat peralatan tenun tersimpan di rumah
gadang di sebuah kampung,” cerita Iswandi di workshop-nya di kawasan Bingkudu, Canduang.
Kubang Turak, nama
kampung itu. Iswandi pun mencari rumah yang dimaksud dan menemukan palanta,
peralatan tenun, itu ngangkrak tersimpan.
Ia semakin yakin untuk menarik kesimpulan bahwa Canduang pernah memiliki tenun
songket sendiri berdasarkan nama kampung itu yang berarti alat tempat
meletakkan benang untuk tenun (turak).
Songket canduang yang sirna
Lulusan seni rupa
Universitas Negeri Padang akhirnya bisa menghubungkan puzzle teka-teki tentang songket canduang. Belum banyak sejarah yang
tersibak. Namun, Iswandi telah menelusuri tenun songket canduang dulu
dikembangkan oleh isteri Syekh Ahmah Thaher, pendiri Pondok Pesantren Miftahul
Ulumi Syari’ah (MUS) pada 1937. Ia mengembangkannya pada perempuan-perempuan
Canduang sehingga menjadi nagari itu memiliki sentra songket.
“Songket canduang
itu khas, motif khasnya saik ajik (potongan
wajik/jajaran genjang),; kata Iswandi dengan hati-hati membuka beberapa kain
kuno koleksinya itu. Selain itu, tenunannya tak menggunakan benang emas dan
menggunakan pewarnaan lumpur.
Sentra songket itu
mati pada 1945. Dari penelitiannya, Iswandi melihat dua hal yang menjelaskan
kematian produk budaya Canduang itu. Pertama, ia melilai persaingan para
pembuat dan pemilik usaha pembuatan songket yang menyimpan rapat rahasia
produksinya. Saat mereka tak lagi memiliki keturunan, rahasia produksi itu pun
berakhir di tangan mereka.
Selanjutnya bisa
dijelaskan lewat cerita masa susah pada era penjajahan Jepang. Di saat berbagai
pelosok nusantara orang-orang bercerita pada masa itu mereka berpakaian goni,
lain lagi orang Canduang. Mereka meilih untuk menggunting kain-kain bagus
koleksi mereka; kain canduang pun menjadi pakaian sehari-hari. Alhasil, songket
canduang punah.
Menghidupkan kembali
Iswandi bersama
dengan Nanda Wirawan, isterinya - pernah bekerja bersama Bernhard Bart
melakukan penelitian tentang songket – tergerak menghidupkan kembali
songket-songket daerah yang beraneka ragam.
Kini sentra songket
terkenal hanyalah Pandai Sikek. Alhasil, pembuat songket dari daerah-daerah
lain pun membuat songket gaya pandai sikek. “Penenun Payakumbuh membuat songket
pandai sikek untuk di Bukittinggi,” ungkap dia, “Padahal masing-masing daerah
mempunyai songket khasnya sendiri.”
Sebenarnya sentra
songket di Ranah Minang berpindah-pindah. Pada 1960-an sentra songket terkenal
berada di Koto Gadang sementara Pandai Sikek merupakan daerah penghasil alat
tenunnya. Akibat rumah gadang sentra pembuatan songketnya terbakar, nama Koto Gadang
pun pudar dari percaturan papan atas “dunia persongketan”. Pandai Sikeklah yang
hingga kini berjaya.
Selama hampir dua
tahun ini, Iswandi dan isterinya berusaha mengembangkan songket daerah. Tak hanya
motif songket canduang. Mtif beberapa daearah seperti Payakumbuh, Batusangkar,
Muaro Labuah yang mulai jarang terlihat pun mereka simpan. Motif itu dibuat
pola tenunannya dengan program Excell. Beberapa motif telah diproduksi dan
pesanan pun mengalir. “Kami tidak memproduksi secara massal,” kata Iswandi mengung
tentang tenaga penenunnya yang masih terbatas.
Penghargaan UNESCO
Di workshop-nya yang artistik dengan
halaman yang ditanami tanaman hias dan sayuran, Iswandi tak hanya menghidupkan
motif-motif songket lama. Ia membuat motif baru dari motif ukir-ukiran
tradisional Minangkabau. “Kami memproduksi ulang dan juga memproduksi baru,” ia
berusaha meringkaskan usahanya.
Selain itu, ia juga
mengembangkan teknik tenun baru yang memungkinkan pembuatan tenun dengan motif
bergaris lengkung. “Motif tenun songket kan
biasanya patah-patah,” jelas ayah dari Mikshalmina Tulus Iswandi (5 tahun)
itu.
Ia lantas
mencontohkan sebuah selendang buatannya dengan motif flora
berlengkung-lengkung. Motif saluak laka yang berasal dari ukiran itu ia buat
dengan pewarnaan alami. Ia menggunakan warna teh-tehan, secang, untuk warna
merah dan cokelat, memanfaatkan daun alpukat untuk beroleh hijau.
Selendang saluak
laka motif baru itu disertakan dalam pameran tenun di Bangkok, Thailand, tahun
lalu. “Selendang itu mendapat penghargaan handycraft
dari UNESCO,” ungkapnya.
Dari motif-motif
yang dikumpulkannya, Iswandi dan Nanda tak hanya memikirkan songket. Mereka pun
ingin menghidupkan kembali kerajinan anyam tikar pandan mansero warga Canduang.
Hanya saja, yang akan datang anyaman itu dengan motif-motif tradisional mereka.
“Kami sekarang sedang mengkampanyekan untuk menanam kembali tanaman itu,”
katanya.
Untuk mengembangkan kembali tradisi lama tak mungkin berjalan
sendiri. Iswandi membutuhkan waktu enam bulan melatih penenun. Ia memiliki dua
tempat: di Canduang dan di Payakumbuh. Sekitar dua ratus juta rupiah dana
mengalir untuk seluruh proses dijalaninya, sebagian dari kocek pribadi. Ia memendam
cita-cita. “Saya ingin ada sentra yang utuh di daerah-daerah,” ujarnya
meringkas harapannya.
1 comment:
Interesting. But how much nicer if there are pictures. Have always admired Malay songket and the Malay dress style.
Post a Comment