MENGENAL ORANG CANDUANG
Oleh: Nina Chairani
Harian Republika, Kolom Jelajah, Edisi Ahad, 20 Juli 2014, halaman 8.
Orang-orang Canduang terkenal terampil. Namun,
belakangan banyak keterampilan khas Canduang mulai menghilang.
Ke mana pun kaki melangkah, keindahan Gunung Marapi di depan mata.
Pemandangan itulah yang terlihat bila kita menjelajah kampung-kampung di Nagari
Canduang Koto Laweh atau Koto Marapak di Nagari Lambah.
Nagari Canduang tak hanya terkenal karena lumbungnya para ulama. Canduang
terkenal akan penduduknya yang rajin.
Teman saya, Arina, bercerita, untuk menggarap kebunnya dari tanah
bersemak seluas 500 meter persegi, ia menggunakan 11 orang.
Dalam sehari, pekerja dari Canduang menyelesaikan kebun bersih siap tanam,
lengkap dengan gulutannya. “Mereka bekerja dari pukul 8-4 sore, nggak ngobrol, dengan satu jam
istirahat,” katanya. Pulang kerja pun mereka masih mencari kayu dan rumput
untuk ternak di rumah.
Orang Canduang identik dengan orang terampil. Betapa tidak, nama
‘canduang’ sendiri berarti sebuah alat sejenis parang. Alat ini dipakai
masyarakat setempat untuk kegiatan sehari-hari mereka, untuk memotong kayu,
rumput, dan sebagainya. Canduang juga digunakan untuk berkelahi. Akhirnya,
canduang menjadi istilah yang digunakan masyarakat luar menyebut orang-orang
kawasan ini yang selalu menggunakan alat itu.
Kawasan perajin
Orang Canduang juga terkenal pandai mengukir dan bertukang. Namun, Mak
Katik, ahli konstruksi rumah gadang tradisional yang tersisa yang kami temui di
rumahnya, melihat keahlian ini sudah menyusut. “Banyak anak-anak muda sekarang
lebih suka bekerja di kantor,” katanya.
Biasanya keterampilan itu menjadi milik keluarga. Anak-anak belajar dengan
melihat anggota keluarganya bekerja. Begitu beranjak besar, mereka dilibatkan
dalam pekerjaan itu.
Mak Katik yang menularkan keahlian membangun rumah gadang pada
keturunannya juga menghadapi hal yang sama pada anak-anaknya sendiri. Mereka
membuat rumah gadang hanya sebagai sambilan.
Kegundahan yang sma juga dirasakan oleh Bulkanedi Sati Batuah, ahli ukiran
Minang yang tersisa. Ia menyimpan puluhan dasar ukiran Minang yang
didapatkannya turun-temurun. Melestarikan dan menurunkan keterampilan itu pada
anak-anak muda menjadi angan-angannya.
Pesanan yang semakin berkurang, begitu juga tenaga terampil yang semakin
sedikit. Keterampilan khas Canduang pun terancam punah.
Salah satu contoh pahitnya adalah hilangnya songket canduang. Tak banyak
orang tahu bahwa Canduang memiliki kerajinan tenun songket yang khas.
Upaya menghidupkan
Cerita keberadaan songket canduang belakangan sedang ditelusuri kembali.
Adalah Iswandi, putra guru kitab kuning Canduang yang penasaran mencari tahu.
Dengan mencari kain lama, menelusuri cerita-cerita warga, ia berhasil menemukan
songket dari daerahnya.
Kami bertandang ke sanggar pembuatan songket yang dikembangkan Iswandi
bersama isterinya, Nanda. Lelaki dengan latar belakang pendidikan seni rupa di
Universitas Negeri Padang (UNP) ini berupaya menghadirkan kembali songket motif
lama itu. Tak Cuma itu, ia juga mempelajari motif-motif ukiran Minang dan
mentransfernya dalam bentuk motif tenun. Yang menarik, tenun garapannya saat
disertakan dalam pameran di Thailand, mendapat penghargaan dari UNESCO.
Iswandi dengan penuh semangat bercerita tentang harapannya mengembangkan
tenun-tenun tradisional khas masing-masing daerah. Banyak daerah yang sudah
kehilangan jejaknya. Ia ingin semua itu kembali.
PAWAI KHATAMAN ALQURAN
Bocah-bocah itu sudah berkumpul di halaman masjid. Mereka berpakaian
putih-putih, para gadis cilik mengenakan kerudung plus mahkota di kepala
mereka, ada juga yang dihiasi rangkaian bunga. Para bujang belia mengenakan
celana panjang dan gamis putih, berpeci dan ada pula yang berkafiyeh putih.
Hari itu mereka melakukan prosesi khataman. Tak hanya di Koto Marapak dan
Canduang. Di berbagai daerah di Sumatra Barat biasanya diadakan acara khataman
serupa.
Bocah-bocah itu kemudian diarak keliling kampung. Rombongan mereka diawali
drum band, di kampung lain ada yang
didahului dengan pasukan rampak beduk. Ada juga yang ditambah dengan barisan
bocah berpakaian adat.
Di belakang mereka berbaris para ‘raja’ dan di belakangnya para ‘ratu
sehari’. Masing-masing didampingi seseorang yang memayungi. Sampai kembali di
mesjid, bocah-bocah yang kelelahan itu disuguhi makan bajamba, makan bersama
dengan duduk di atas tikar. Acara selanjutnya adalah ujian formalitas mengaji.
Untuk menyertakan prosesi khataman ini, orang tua menyiapkan dana sekitar
Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Jumlah yang terkadang terasa cukup berat demi
menyenangkan si buah hati. Menonton pawai khataman yang berlangsung pada hari
yang sama di beberapa kampung menjadi hiburan yang menarik di kawasan ini.
BATU MENHIR DAN MAKAM LEREH CANDUNAG
Di antara kerimbunan ilalang, batu-batu pipih lebar itu tampak menyeruak.
Papan bertuliskan cagar budaya. Hingga kini belum ada penelitian tentang detail
sejarah makam dengan nisan batu-batu menhir itu. Di dekatnya terletak pemakaman
Keluarga Tuanku Lareh Canduang dari suku Sikumbang. Ada tiga makam di dalamnya,
yakni Oenus Rj Lenggang yang menjabat pada 1842-1848, Taib gelar Khatib Sampono
yang menjabat pada 1848-18578, dan Abdul Karim gelar Datuak PAnduko Sianso yang
menjabat mulai 1857.
MASJID BINGKUDU
Sejenak saya kecewa. Betapa tidak, masjid tertua di Sumatra Barat tak
seperti yang saya bayangkan. Di lokasinya yang indah, di lekukan tanah yang dalam
di bawah jalan menuju kaki Gunung Marapi, wajahnya mulai berubah. Atap ijuknya
yang bertingkat tiga sebagian hilang, telah berganti genting berwarna kelabu.
Proses renovasi sedang berlangsung.
Atapnya bocor-bocor karena ijuk yang sudah terlalu lama semakin berat.
Lagi pula berbahaya karena anak-anak banyak bermain petasan,” kata Arman Intan
Sejatino pengurus masjid seolah menangkap kekecewaan saya.
Masjid Bingkudu di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh banyak jadi
sebutan di berbagai tulisan. Usianya cukup tua. Dibangun pada 1823 oleh tokoh
dari tujuh nagari, yakni Canduang, Koto Lawas Pasanehan, Bukit Batuah, Lasi
Mudo dan Lasi Tuo.
Masjid yang diinisiasi Lareh Canduang ini dibangun pada era Perang Paderi
yang tengah berkecamuk. Diceritakan pula, masjid ini sebagai tempat berkumpul
para ulama dan pejuang untuk mengatur strategi menghadapi Belanda.
Hasil karya warga Canduang
“Masjid ini dibuat tanpa paku, dilekatkan pakai pasak,” kata pengurus
masjid yang kami temui. Ismet Katik Batuah, ahli konstruksi rumah gadang dari
Canduang menunjukkan bagian masjid yang unik. Pilar bersegi 12 yang jumlahnya
53 buah itu menopang masjid tua ini.
Mak Katik menunjuk pada salah satu pilar masjid yang disebutnya sudah tak
asli lagi. “Sudah dua kali kena petir. Yang terakhir terbelah,” katanya.
Ia lalu menunjukkan keindahana ukiran-ukiran motif khas Canduang yang
menghiasi masjid itu. Pada bagian atas pilar menempel ke langit-langit masjid,
ia menyebut motif salaka sejenis daun paku yang kini dikenal sebagai paku kadaka.
Lalu, lekuk-lekuk daun bersulur yang mengelilingi bagian lis pinggiran interior
masjid berwarna biru muda ini. “Semua ini dibuat orang Canduang,” katanya.
Masjid kayu berukuran 21 x 21 meter ini dibuat masyarakat secara bergotong
royong. Tingginya 1,5 meter dari permukaan tanah. Masjid yang dibangun di
ketinggian tanah 1.050 mdpl ini dilengkapi menara setinggi 30 meter.
Interior masjid ini berhiaskan sejumlah lampu minyak yang sudah berumur
tua. Pada bagian depan ruangan, sebuah mimbar berwarna cokelat dan keemasan
buatan tahun 1906.
Halaman masjid dilengkapi kolam ikan dan kolam air untuk bersuci. Di
halaman Masjid Bingkudu terdapat makam Syekh Ahmad Thaher, ulama pendiri
madrasah tertua di kawasan itu: Madrasah Ulumi Syariah yang meninggal pada
1960.
No comments:
Post a Comment